• Jumat, 05 Oktober 2012

      al Firqah an-Najiyah


      www.darulfatwa.org.au
      1
      AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH:
      GOLONGAN YANG SELAMAT
      (al Firqah an-Najiyah)

      Maknanya: “…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di
      antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)
      Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya
      yang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang mereka
      lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal,
      mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah raja
      Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil akal.
      Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagai
      peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeda dengan para filosof yang berbicara
      tentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penalaran
      akal semata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran
      yang dibawa para nabi.
      Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan
      akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya
      mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak
      bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah
      tuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab
      “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut).
      Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentang
      Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya,
      dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.
      PEMBAHASAN
      Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad
      permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang
      terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan
      lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat
      dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan
      bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan
      kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui
      secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
      Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita
      tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang
      diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan

      2
      kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama
      mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka.
      Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa
      mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas.
      Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah
      Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
      dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar
      iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:

      Maknanya: “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-
      Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”.
      (H.R. al Bukhari dan Muslim)
      Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad
      yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh
      Rasulullah dalam sabdanya :
      : “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian --
      mengikuti-- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang
      setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan
      jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua
      orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia
      berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini
      Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
      Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalu
      menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama'ah masjid tertentu atau dengan arti
      ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri
      dan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas
      mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat
      Muhammad dari sisi kuantitas.
      Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits yang kita tulis di awal pembahasan.
      Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur,
      diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian akan
      kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yang
      menyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut
      Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.
      Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama
      salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal
      Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi:

      3

      Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad
      setelah mereka”.
      (H.R. Tirmidzi)
      Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah
      Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang
      membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324
      H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridlai keduanya– datang
      dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat
      nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil
      naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai
      dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan
      untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij
      tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada
      keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al-
      Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para
      pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka
      adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh
      al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.
      Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian
      masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya
      saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas
      dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah).
      Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya
      perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah r
      melihat Allah pada saat Mi’raj?. Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud
      mengatakan bahwa Rasulullah r tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj.
      Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas mengatakan bahwa Rasulullah r melihat Allah
      dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad
      r sehingga dapat melihat Allah.
      Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan
      sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H)
      mengatakan:

      “Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan
      al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)
      Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah
      aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya
      keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi
      dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini
      oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki,

      4
      Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
      Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia.
      Dan al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di
      seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama
      al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko,
      Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di
      negara-negara lainnya.
      Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam
      mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas.
      Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok
      atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar.
      Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmuilmu
      lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu
      yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari
      kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini
      sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan
      sahabat Jundub:

      : “Kami -selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari
      iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka
      bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al-
      Bushiri).
      Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal tersebut dikarenakan
      banyaknya golongan yang mengatas namakan Islam justru menentang aqidah Islam
      yang benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi) dari setiap golongan untuk
      membela aqidah mereka yang sesat.
      Tidak semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan
      Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan
      tetapi ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu
      kalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam
      karena sengaja dikarang dan ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti
      Mu’tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,
      sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji
      ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang
      sesat. Dikatakan terpuji karena pada hakekatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah
      taqrir dan penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan
      argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli.
      Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Di antaranya,
      sahabat 'Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kuat dapat mengalahkan
      golongan Khawarij, Mu’tazilah juga dapat membantah empat puluh orang yahudi
      yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Demikian pula sahabat 'Abdullah

      5
      ibn Abbas, al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib dan 'Abdullah ibn Umar juga
      membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari kalangan tabi’in; imam al-Hasan al-
      Bashri, imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi
      Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah.
      Kemudian juga para imam dari empat madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam
      Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini.
      Sebagaimana dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam
      kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam
      kitabTabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al-
      Masami’ dan al 'Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan
      lain-lain.
      Allah berfirman:
      9
      Maknanya: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak
      disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu". (Q.S. Muhammad :19)
      Ayat ini dengan sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid.
      Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada
      perintah untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama.
      Ketika Rasulullah r ditanya tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau
      menjawab:
      : “Iman kepada Allah dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)
      Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah r mengkhususkan dirinya sebagai orang
      yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau bersabda:
       “Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut
      kepada-Nya”. (H.R. Bukhari)
      Karena itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai
      penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini. Seperti Risalah al-'Aqidah ath-
      Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al
      ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al-
      Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-
      Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599
      H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian
      menghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).
      Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik
      dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anakanak
      kecil di madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal
      dengan nama al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
      Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i,
      mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau

      6
      memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah
      di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara
      Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman
      sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila
      Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang
      telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan
      itu terus berlangsung.
      Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa
      aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasul Allah.
      Amin. []
      KOMENTAR PARA ULAMA TENTANG AQIDAH ASY'ARIYYAH; AQIDAH
      AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
      As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-
      Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan
      kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan
      nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf,
      hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga
      tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para
      pengikutnya kemudian disebut Asy'ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah
      ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama
      sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya
      lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah
      penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya
      disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama
      sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik
      menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis..
      demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".
      Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa "kelompok yang
      benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy'ari.
      Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap
      masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini
      sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah
      aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan
      habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita.
      Kemudian beliau melantunkan satu bait sya'ir:

      "Jadilah pengikut al Asy'ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yang
      bersih dari kesesatan dan kekufuran".

      7
      Ibnu 'Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar 'ala ad-Durr
      al Mukhtar : "Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah al Asya'irah dan al Maturidiyyah".
      Dalam kitab 'Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan :
      "Aqidahku adalah aqidah Asy'ariyyah Hasyimiyyah Syar'iyyah sebagaimana aqidah
      para ulama madzhab syafi'i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah". Bahkan jauh
      sebelum mereka ini Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa
      aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i, madzhab
      Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al
      Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh
      para ulama di masanya, seperti Abu 'Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab
      Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di
      masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh
      putranya Tajuddin as-Subki.
      GARIS BESAR AQIDAH ASY'ARIYYAH
      Secara garis besar aqidah asy'ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah
      wal jama'ah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala maha Esa dan tidak ada sekutu
      bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang bisa digambarkan juga bukan benda yang
      berbentuk dan berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya
      (laysa kamitslihi syai'). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi
      ada-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Ia tidak
      diliputi arah. Ia ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Iapun ada setelah
      menciptakan tempat tanpa tempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya kapan,
      dimana dan bagaimana ada-Nya. Ia ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha
      suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan
      anggota badan yang kecil. Ia tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Ia
      tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam,
      menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya.
      Ia tidak terjangkau oleh fikiran dan Ia tidak terbayang dalam ingatan, karena
      apapun yang terbayang dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Ia maha
      hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Ia
      berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga
      azali, karena Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan
      perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh ia
      telah kafir.
      Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Ia juga
      yang mengatur rizki dan ajal mereka. Tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya
      dan tidak ada yang bisa menghalangi pemberian-Nya. Ia berbuat dalam kerajaan-
      Nya ini apa yang Ia kehendaki. Ia tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan
      hamba-Nyalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan-Nya.
      Apa yang Ia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Ia kehendaki tidak akan

      8
      terjadi. Ia disifati dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Ia maha suci
      dari segala bentuk kekurangan.
      Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Ia
      diutus Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia.
      Ia jujur dalam setiap apa yang disampaikannya. []
      Tidak Semua Yang Baru Itu Sesat
      Pemberian titik dan syakal pada mushaf itu tidak ada pada masa Rasul dan
      Rasul tidak pernah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan itu, tapi
      sampai saat ini tidak ada yang berani mengatakan itu sesat dan yang sesat masuk
      neraka. Demikian juga adzan kedua pada hari jum'at yang dirintis pertama kali oleh
      sahabat Utsman ibn Affan karena melihat umat Islam sudah semakin banyak. Pada
      masa Rasul, Abu Bakar dan Umar adzan pada hari jum'at hanya dilakukan sekali
      ketika khatib naik mimbar, kemudian pada masa Utsman adzan ditambah sebelum
      khatib naik mimbar. Adzan yang pertama ditujukan untuk memperingatkan umat
      bahwa waktu dzuhur sudah masuk dan bersegera untuk meninggalkan aktifitas
      duniawinya dan datang ke masjid. Apakah kemudian Utsman disebut ahli bid'ah?!
      Bukankah Rasulullah telah memberikan keleluasan (rukhshah) kepada umatnya
      untuk berinovasi dalam hal kebaikan?! dalam haditsnya Rasul bersabda: "Barang
      siapa merintis perkara baru yang baik dalam Islam maka ia mendapatkan pahala dari
      upayanya serta pahala orang yang menjalankannya" .
      Seiring dengan perkembangan zaman tentu kebutuhan umat manusia semakin
      banyak lebih banyak dari masa Rasul dan sahabat, tidak ada salahnya kalau kita
      memanfaatkan fasilitas-fasilitas teknologi yang telah tercipta itu untuk
      mempermudah kepentingan kita beribadah kepada Allah. Karena tidak semua yang
      baru itu salah dan menyesatkan. Selamat membaca. []
      BID’AH
      Bid’ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.
      Dalam pengertian syara’ adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat secara tekstual baik
      dalam al Qur’an maupun hadits.

      9
      Bid’ah terbagi kepada dua bagian, sebagaimana dipahami dari hadits ‘Aisyah -semoga
      Allah meridlainya-, ia berkata: Rasulullah bersabda yang maknanya: “Barang siapa berbuat
      sesuatu yang baru dalam syariat ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak”.
      Bagian pertama: Bid’ah Hasanah, juga dinamakan Sunnah Hasanah yaitu sesuatu yang
      baru yang sejalan dengan al Qur’an dan Sunnah.
      Bagian kedua: Bid’ah Sayyi’ah, juga dinamakan Sunnah Sayyi’ah yaitu sesuatu yang baru
      yang menyalahi al Qur’an dan sunnah.
      Pembagian bid’ah ini, juga dapat dipahami dari hadits Jarir ibn Abdillah al-Bajali --
      semoga Allah meridlainya--, berkata: Bersabda Rasulullah yang maknanya: “Barang siapa
      merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari
      perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) tanpa berkurang
      sedikitpun dari pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah buruk maka baginya
      dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) tanpa
      berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim).
      Contoh bagian pertama: Peringatan maulid nabi di bulan rabi’ul awal. Orang yang
      pertama kali mengadakan maulid nabi ini adalah raja al-Mudzaffar penguasa Irbilia (Iraq)
      pada abad 7 hijriyah. Pembuatan titik-titik dalam (huruf-huruf) al Qur’an oleh Yahya bin
      Ya’mur, salah seorang tabi’i yang agung. Beliau adalah seorang yang alim dan bertaqwa,
      perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari ahli hadits dan ulama lainnya, mereka
      menganggap baik hal ini sekalipun Mushhaf tersebut tidak memakai titik saat Rasulullah
      mendiktekannya kepada para penulis wahyunya. Begitu pula Utsman ibn ‘Affan ketika
      menyalin mushhaf yang lima atau enam tidak dengan titik-titik (pada huruf–hurufnya), dan
      dari saat itulah semua orang Islam hinggga kini selalu memakai titik dalam penulisan hurufhuruf
      al Qur’an. Apakah hal ini harus dikatakan bid’ah sesat sebab Rasul tidak pernah
      melakukannya?. Jika masalahnya demikian maka hendaklah mereka meninggalkan
      mushhaf-mushhaf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya hingga seperti pada masa
      Utsman. Abu Bakr ibn Abi Dawud, penulis kitab Sunan, dalam karyanya kitab al-mashahif
      berkata: orang yang pertama kali membuat titik dalam mushhaf adalah Yahya bin Ya’mur,
      salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang mengambil riwayat dari sahabat Abdullah
      ibn Umar dan lainya.
      Contoh bagian kedua: Hal-hal yang baharu dalam masalah aqidah, seperti bid’ahnya
      golongan Mu’tazilah, Khawarij dan mereka yang menyalahi apa yang telah menjadi
      keyakinan para sahabat nabi. Contoh lainnya ceperti penulisan shad ( ص) setelah nama nabi
      sebagai pengganti Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Padahal para ahli hadits telah menetapkan
      dalam kitab-kitab musthalah al-hadits bahwa menuliskan shad ( ص) saja setelah penulisan
      nama nabi adalah makruh, namun begitu mereka tidak sampai mengharamkannya. Dengan
      demikian dari manakah mereka yang berlebih- lebihan dan membuat kegaduhan
      mengatakan bahwa perayaan maulid nabi adalah bid’ah yang diharamkan dan bahwa

      10
      bershalawat atas nabi setelah adzan adalah bid’ah yang diharamkan, dengan alasan bahwa
      Rasulullah dan atau para sahabatnya tidak pernah melakukannya?!.
      Hal yang serupa juga merubah nama Allah menjadi “Aah” atau yang sejenisnya yang
      banyak dilakukan oleh mereka yang mengaku-aku pengikut tharekat.
      Maka dari itu Imam Syafi’i semoga --Allah meridlainya-- berkata: “Hal-hal yang baru
      dalam masalah agama ada dua bagian. Pertama, perkara baru yang menyalahi al Qur’an,
      sunnah, ijma’ atau atsar, inilah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang baik yang tidak
      menyalahi al Qu’an, sunnah, maupun ijma’, inilah perkara yang baru yang tidak tercela”.
      Diriwayatkan al Baihaqi dengan sanadnya dalam kitabnya Manaqib as Syafi’i.
      Pembagian Bid'ah yang dibagi oleh Imam Syafi'i di atas adalah sebuah kaidah yang
      beliau fahami dari nash-nash hadits tentang bid'ah-tentunya beliau lebih faham dari kita tentang
      maksud hadits-hadits itu-, sehingga kita tidak terburu-buru mengklaim bahwa semua bid'ah
      adalah sesat tanpa meneliti telebih dahulu, apakah ia bertentangan dengan Al-qur'an atau
      tidak?!!
      BERTAWASSUL DENGAN PARA NABI DAN PARA WALI BUKANLAH SYIRIK
      Ketahuilah bahwa tidak ada dalil yang hakiki yang menunjukkan tidak
      diperbolehkannya tawassul dengan para nabi dan para wali Allah baik disaat tidak hadirnya
      mereka maupun setelah mereka meninggal dengan alasan bahwa hal itu adalah ibadah
      kepada selain Allah. Padahal sekedar memanggil orang yang hidup atau yang sudah
      meninggal, mengagungkan, meminta pertolongan kepada selain Allah (maksudnya malaikat
      atau manusia, bukan berhala atau pohon atau yang sejenisnya), menuju kuburan seorang
      wali untuk mencari berkah, meminta sesuatu yang tidak biasanya terjadi di antara manusia
      atau mengucapkan kalimat minta tolong kepada selain Allah bukanlah perbuatan syirik.
      Karena definisi ibadah menurut ahli bahasa tidak berlaku bagi masalah-masalah di atas,
      sebab ibadah secara definitif ialah ketaatan yang disertai dengan ketundukan secara total.
      Al-Azhari, salah seorang pakar bahasa terkemuka mengutip perkataan al Farra’ yang
      merupakan ahli bahasa paling mashur mengatakan: “Ibadah dalam bahasa Arab ialah
      ketaatan yang disertai dengan ketundukan. (lihat Lisan al ‘Arab, para huruf ‘Ain, ba’, dal).
      Sebagian ahli bahasa lainnya mengatakan: “Ibadah ialah puncak tertinggi kekhusu’an dan
      ketundukan”. Sebagian lainnya mengatakan: “ibadah adalah puncak perendahan diri”.
      Pendapat-pendapat inilah yang benar baik secara bahasa maupundalam kenyataanya.
      Merendahkan diri saja --tidak sampai puncaknya-- bukan merupakan ibadah kepada selain
      Allah, karena bila demikian maka mereka yang merendahkan diri di hadapan para raja dan
      pembesar telah menjadi kafir. Padahal ada riwayat yang kuat dalam sebuah hadits bahwa
      Mu’adz ibn Jabal saat datang dari Syam sujud di hadapan Rasulullah. Rasulullah bersabda:
      “Apa yang engkau lakukan ini!”. Mu’adz menjawab: “Wahai Rasulullah saya melihat
      penduduk Syam sujud kepada para batrik (orang yang terpandang) dan uskup (pemuka
      agama) mereka padahal engkau lebih utama dari mereka”. Rasulullah bersabda: “Jangan
      kamu lakukan ini, bila aku hendak memerintah seorang manusia sujud kepada manusia
      lainnya, maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”. (H.R.
      Ibn Hibban, Ibn Majah dan lainnya)

      11
      Mereka yang mengkafirkan seseorang kerena mengunjungi makam nabi atau lainnya
      dari makam para wali Allah untuk mencari berkah tidak mengetahui makna ibadah. Mereka
      menyalahi apa yang telah disepakati kaum muslimin masa lampau maupun yang sekarang
      di mana mereka hingga kini tetap melakukan ziarah ke makam Rasulullah. Makna ziarah ke
      makam Rasulullah untuk mencari berkah bukan berarti Rasulullah menciptakan keberkahan
      bagi mereka, tapi maknanya ialah berharap kepada Allah untuk memberikan keberkahan
      kepada mereka dengan lantaran berziarah ke makam Rasulullah.
      Dalil atas hal ini apa yang diriwayatkan al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Malik
      ad Dar yang merupakan juru kunci ‘Umar berkata: “Orang-orang di masa ‘Umar terkena
      musibah kekeringan, kemudian seseorang datang ke makam Rasulullah dan berkata: “wahai
      Rasulullah mintalah hujan bagi ummatmu karena mereka akan binasa!”. Orang tersebut di datangi
      Rasulullah dalam mimpi dan beliau berkata: “sampaikan salamku kepada ‘Umar dan beritakan
      bahwa mereka akan diberi hujan, juga katakan kepadanya: hendaklah engkau cerdas”. Ia kemudian
      mendatangi ‘Umar dan menceritakan apa yang dialaminya. ‘Umar menangis dan berkata:
      “Ya Allah aku tidak lalai kecuali dari apa yang aku tidak kuasa --melakukannya--”. Disebutkan
      tentang orang tersebut bahwa ia adalah sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani. Sahabat ini
      telah mendatangi makam Rasulullah untuk mencari berkah dan ‘Umar tidak
      mengingkarinya. Dengan demikian apa yang disebutkan Ibn Taimiyah bahwa ziarah
      semacam ini adalah syirik hanyalah kebatilan belaka.
      Al Hafizh Waliyyuddin al Iraqi meriwayatkan hadits Abi Hurairah bahwa nabi Musa
      berkata: “Ya Allah dekatkanlah (makam) aku dari tanah suci (Bait al Maqdis) dengan satu lemparan
      batu”, dan Rasulullah bersabda: “Demi Allah jika aku didekatnya maka akan aku perlihatkan
      kepada kalian makamnya ke arah jalan dekat al Katsib al Ahmar”. Hal ini menujukkan keutamaan
      mengetahui makam orang-orang saleh untuk menziarahinya dan melaksanakan hakhaknya”.
      Al Hafizh ad Dliya’ berkata: meriwayatkan kepadaku Salim at Tall berkata: “ aku tidak
      mengetahui tempat yang lebih cepat terkabul untuk berdo’a selain di makam tersebut, dan
      bahwa ia dalam mimpi melihat kubah di dekat makamnya, di dalamnya ada seseorang yang
      berkulit sawo matang. Ia mengucapkan salam kepadanya sambil berkata: “engkaukah Musa
      Kalimullah?, atau: engkaukah Musa Nabi Allah?. Ia menjawab: “benar”. Aku berkata:
      “katakanlah sesuatu padaku!”. Kemudian ia memberi isyarat dengan empat jarinya dan
      menggambarkan tingginya, aku terbagun dan tidak mengetahui apa yang ia ucapkan. Ketika
      Syaikh Dzayyal aku kabari hal ini, ia berkata: “Engkau akan di karuniai empat orang anak
      laki-laki”. Aku katakan: “aku telah mengawini seorang perempuan yang belum aku dekati”.
      Ia berkata: “bukan perempuan itu!”. Kemudian aku mengawini perempuan lain hingga aku
      dikaruniai empat orang anak”.
      Dari Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda yang maknanya: “Sesungguhnya Allah
      memiliki para malaikat penjaga (al Hafazhah) di bumi, mereka mencatat daun-daun yang berjatuhan
      dari pepohonan, maka bila seorang dari kalian tersesat di padang yang luas hendaklah ia memanggil:
      “Tolonglah wahai para hamba Allah !”. H.R. At Thabarani, al Hafidz al Haitsami berkata: “para
      perawinya tepercaya”.
      Rasulullah bersabda yang maknanya: “hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku
      adalah kebaikan bagi kalian, kalian membuat satu perkara (dosa) dan dijadikan hal tersebut bagi kalian,
      matiku kebaikan bagi kalian, diperlihatkan kepadaku seluruh perbuatan kalian, bila aku melihat dari

      12
      kebaikan aku memuji Allah (bersyukur) dan bila aku melihat keburukan aku mintakan ampunan bagi
      kalian”. H.R. al Bazzar, hadits dengan para perawi shahih.
      At Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam as Shagir meriwayatkan dari
      ‘Utsman ibn Hunaif bahwa seorang laki-laki mengadu kepada ‘Utsman ibn ‘Affan, tapi
      ‘Utsman tidak memperhatikan dan menanyakan kebutuhannya. Orang tersebut kemudian
      bertemu dengan ‘Utsman ibn Hunaif dan mengadu kepadanya. ‘Utsman Ibn Hunaif berkata:
      “pergilah ke tempat wudlu dan berwudlulah kemudian shalatlah dua raka’at dan katakanlah
      dalam doa: “Ya Allah aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan nabi
      kami Muhammad, nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad aku menghadap denganmu
      kepada Tuhanku dalam kebutuhanku agar terkabulkan”, kemudian cepatlah kemari supaya
      kita berjalan bersama (menghadap Khalifah Ustman). Orang tersebut pergi dan melakukan
      apa yang diperintahkan oleh ‘Utsman ibn Hunaif, kemudian mendatangi pintu ‘Utsman ibn
      ‘Affan. Tiba-tiba penjaga pintu menarik tangannya dan membawanya kepada ‘Utsman ibn
      ‘Affan, lalu ‘Utsman mendudukannya di atas karpetnya, ‘Utsman berkata: “apakah yang
      engkau perlukan?, lelaki itupun menyebutkan kebutuhannya. Kemudian ‘Utsman
      memenuhi segala apa yang ia inginkan dan berkata: “apa yang engkau sebutkan dari
      hajatmu aku penuhi saat ini juga”. Lelaki itu kemudian keluar rumah dan bertemu dengan
      ‘Utsman ibn Hunaif seraya berkata: “semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, ia
      (‘Utsman ibn ‘Affan) mungkin tidak akan memperhatikan kebutuhanku dan melihatku
      hingga engkau menceritakanku padanya. ‘Utsman ibn Hunaif berkata: “Demi Allah aku
      tidak memberitahukan tentangmu kepadanya akan tetapi aku menyaksikan Rasulullah telah
      didatangi seorang yang buta dan mengadu kepadanya akan hilangnya penglihatan dia.
      Rasulullah bersabda: “jika engkau berkehendak maka bersabarlah atau jika engkau berkehendak aku
      doakan engkau”. Ia berkata: “Ya Rasulallah hilangnya penglihatanku sangat menyusahkanku
      dan aku tidak memiliki penuntun”. Rasulullah berkata: “datangilah tempat wudlu dan
      berwudlulah kemudian shalatlah dua raka’at kemudian bacalah kalimat-kalimat tersebut. Lelaki
      tersebut lalu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah dan demi Allah kita belum berpencar dan
      majelis kita belum lama hingga orang tersebut sudah kembali masuk dan sudah dapat kembali melihat
      seakan ia tidak pernah terkena musibah apapun. At Thabarani dalam Mu’jamnya berkata: “hadits
      ini shahih”.
      Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang buta bertawassul kepada nabi tidak di
      hadapan beliau (di tempat lain), dengan dalil perkataan ‘Utsman ibn Hunaif sendiri: “...
      hingga orang tersebut sudah kembali masuk”. Maka hadits ini menyatakan tentang
      kebolehan bertawassul dengan nabi baik di masa hidupnya maupun setelah wafatnya. Dan
      dengan ini jelas apa yang dinyatakan Ibn Taimiyah bahwa tawassul hanya boleh kepada yang
      hidup dan hadir adalah salah. Setiap syarat yang bukan dari kitab Allah adalah batal
      sekalipun seratus syarat.
      Adapun Tawassulnya ‘Umar dengan al ‘Abbas setelah wafatnya Rasulullah bukan
      karena Rasulullah telah meninggal akan tetapi justru untuk menjaga hak kekerabatannya
      dari Rasulullah dengan dalil perkataan al ‘Abbas sendiri ketika diminta oleh ‘Umar: “Ya
      Allah sesungguhnya kaum ini menghadap denganku kepadaMu karena kekerabatanku dari
      nabiMu”. Maka jelaslah tidak benar apa yang dinyatakan oleh Ibn Taimiyah dan para
      pengikutnya yang mengingkari tawassul. Atsar ini diriwayatkan oleh az Zubair ibn Bakkar.
      Dan mendekati hal ini pula apa yang diriwayatkan al Hakim dalam al Mustadrak
      bahwasannya ‘Umar berkhutbah di hadapan manusia seraya berkata: “Wahai manusia
      sesungguhnya Rasulullah memperlakukan al ‘Abbas layaknya perlakuan seorang anak bagi

      13
      orang tuanya, maka ikutilah Rasulullah pada pamannya; al ‘Abbas dan jadikanlah ia wasilah
      kepada Allah”. Riwayat ini menerangkan lebih jelas alasan tawassulnya ‘Umar dengan al
      ‘Abbas.
      Maka setelah ini tidak ada lagi tempat bagi pernyataan mereka yang mengingkari
      tawassul bahwa hadits di atas dalam sanadnya terdapat Abu Ja’far, di mana ia seorang yang
      tidak dikenal (majhul). Yang benar tidak seperti apa yang mereka nyatakan, Abu Ja’far ini
      adalah Abu Ja’far al Hathmi seorang yang terpercaya. Begitu pula pernyataan sebagian
      mereka, yaitu Nashiruddin al Albani yang mengatakan bahwa maksud pernyataan at
      Thabarani bahwa hadits ini shahih adalah dilihat dari kadar awalnya, yaitu perbuatan
      seorang laki-laki yang buta di masa hidupnya Rasulullah saja. Hadits ini menurut pendapat
      Nashiruddin al Albani tidak bertujuan apa yang dilakukan di masa ‘Utsman ibn ‘Affan,
      masa setelah wafatnya Rasulullah. Padahal ulama Mushthalah berkata: “Hadits adalah baik
      yang marfu’ kepada nabi maupun yang mauquf kepada sahabat, artinya bahwa perkataan
      nabi dinamakan sebuah hadits, begitu pula perkataan sahabat dinamakan hadits. Hadits
      tidak terbatas perkataan yang dinisbatkan kepada Rasulullah saja. Nashiruddin dengan
      perkataan sesatnya ini tidak sejalan dengan apa yang telah ditetapkan dalam ‘Ilmu
      Mushthalah al Hadits. Silahkan lihat dalam kitab Tadrib ar Rawi, al Ifshah dan lainnya dari
      kitab-kitab Musthalah.
      Adapun hadits Ibn ‘Abbas bahwa nabi bersabda kepadanya: “Jika engkau memohon
      maka memohonlah kepada Allah dan jika engkau meminta tolong maka mintalah tolong
      kepada Allah”, tidak terdapat dalam hadits ini larangan tawassul dengan para nabi ataupun
      para wali Allah. Makna hadits tersebut ialah bahwa yang paling utama untuk dimohon dan
      untuk dimintai pertolongan adalah Allah, bukan maknanya janganlah memohon dan
      meminta pertolongan kepada selain Allah. Senada dengan hadits ini sabda Rasulullah:
      “Janganlah engkau berteman kecuali dengan orang mukmin dan janganlah memakan
      makananmu kecuali orang yang bertaqwa”. Hadits ini bukan maknanya tidak boleh
      berteman dengan seorang yang kafir atau memberikan makan kepada yang tidak bertakwa
      tapi maknanya bahwa yang paling utama untuk ditemani adalah seorang yang mukmin dan
      yang paling utama untuk diberi makan adalah orang yang bertakwa. Begitu pula hadits Ibn
      ‘Abbas di atas maknanya tentang keutamaan bukan tentang keharaman.
      Tidak ada perbedaan antara tawassul dan istigatsah. Tawassul juga dinamakan istigatsah
      sebagaimana dalam riwayat al Bukhari bahwa nabi bersabda: “sesungguhnya matahari di
      hari qiyamat sangat dekat hingga air keringat seseorang sampai setengah telinganya, ketika
      manusia dalam keadaan demikian mereka beristighatsah dengan Adam kemudian Musa
      kemudian Muhammad”. Dalam hadits ini Rasulullah menamakan permintaan syafa’at dari
      nabi Adam bagi mereka sebagai istigatsah.
      Kemudian Rasulullah menamakan hujan juga dengan mughits. Abu Dawud dan lainnya
      meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah bersabda yang maknanya: “Ya
      Allah siramilah kami dengan hujan yang memberikan pertolongan, menyegarkan, menyuburkan,
      memberikan manfa’at dan tidak membahayakan dengan cepat tanpa di akhir-akhir...”, dalam hadits
      ini Rasulullah menamakan hujan dengan mughits (yang memberikan pertolongan) karena ia
      menyelamatkan dari kekeringan dengan izin Allah. Begitu juga para nabi dan para wali
      Allah dapat menyelamatkan dari kesulitan dengan izin Allah ta’ala.[]

      14
      MENCARI BERKAH
      DENGAN PENINGGALAN-PENINGGALAN NABI
      Ketahuilah bahwa para sahabat --semoga Allah meridlai mereka-- mencari berkah
      dengan peninggalan-peninggalan nabi baik di masa hidupnya maupun setelah matinya. Dan
      semua orang Islam hingga kini masih melakukan hal tersebut. Kebolehan perkara ini
      diketahui dari perbuatan nabi sendiri, yaitu ketika beliau mencukur rambutnya pada haji
      Wada’ (haji terakhir yang beliau lakukan) dan membagi-bagikan rambut dan potongan
      kukunya.
      Pembagian rambut ini diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari hadits Anas.
      Dalam lafazh riwayat Muslim, Anas berkata: “Saat selesai melempar Jumrah dan memotong
      kurbannya, Rasulullah mencukur rambutnya. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya
      kepada pencukur untuk memotongnya, kemudian memanggil Abu Thalhah al Anshari dan
      memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Kemudian Rasulullah mengulurkan
      bagian kiri rambutnya kepada pencukur, beliau berkata: “Potonglah!”. Lalu memberikannya
      kembali kepada Abu Thalhah seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”.
      Dalam riwayat lain: “maka mulai --dipotong-- dari bagian kanan dan membagikan
      sehelai dua helai rambut di antara manusia. Kemudian pada bagian kiri, juga dibagibagikan.
      Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah!”, kemudian
      Rasulullah memberikan Potongan rambutnya kepadanya.
      Dalam riwayat lainnya: “Rasulullah berkata kepada pencukur: “di sini!”, sambil
      memberi isyarat ke bagian kanannya, kemudian beliau membagikan kepada orang-orang
      yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada pencukur ke bagian kirinya,
      setelah dicukur potongannya diberikan kepada Ummu Sulaim. Pada hadits ini penjelasan
      bahwa sebagian rambut, Rasulullah sendiri yang membagikan di antara orang-orang yang
      dekat dengannya dan sebagian lainnya diberikan kepada Abu Thalhah untuk dibagikan
      kepada semua orang dan sebagian lainnya beliau berikan kepada Abu Thalhah. Dalam
      hadits ini penjelasan tentang mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan nabi. Nabi
      membagi-bagikan rambutnya agar mereka mengambil berkah dengannya dan mencari
      syafaat serta taqarrub kepada Allah dengan sesuatu dari diri beliau. Beliau membagikanbagikannya
      agar menjadi berkah yang langgeng dan sebagai kenang-kenangan bagi mereka.
      Dari sinilah kemudian orang-orang yang dimuliakan Allah dalam kehidupan mereka
      mengikuti apa yang dilakukan para sahabat dalam mencari berkah dengan peninggalanpeninggalan
      Rasulullah. Dimana hal ini kemudian menjadi tradisi yang diwarisi kaum khalaf
      dari kaum salaf.

      15
      Adapun peristiwa pembagian potongan kuku, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
      Musnadnya bahwa nabi memotong kuku-kukunya dan membagikannya di antara manusia.
      Adapun tentang jubahnya nabi, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya dari
      budak yang dimerdekakan Asma’ binti Abi Bakr, berkata: “ia (Asma Binti Abi Bakr)
      mengeluarkan jubah --dengan motif-- thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar)
      berkerah sutera yang kedua lubangnya tertutup. Ia (Asma’) berkata: ini adalah jubah
      Rasulullah, semula berada di ‘Aisyah, ketika ia wafat aku mengambilnya. Dahulu ini dipakai
      Rasulullah, kita mencucinya yang air cuciannya kita jadikan obat bagi orang-orang yang
      sakit”. Dalam riwayat lain: “kita mencucinya bagi orang yang sakit di antara kita”.
      Dan dari Hanzhalah bin Hadzyam berkata: “aku mengikuti rombongan bersama
      kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah, ia (Hadzyam) berkata: “Ya Rasulallah sesungguhnya
      aku memiliki beberapa anak laki-laki yang sudah besar dan ini yang paling kecil di antara
      mereka. Kemudian mendekatkanku kepada Rasulullah, lalu ia mengusap kepalaku seraya
      berkata: “Allah memberkatimu”. Ad Dzayyal berkata: “Aku melihat hanzhalah didatangi
      orang yang bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya,
      ia (Hanzhalah) berkata: “dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan Rasulullah”,
      kemudian ia mengusapnya hingga hilanglah bengkaknya.
      Demikian diriwayatkan at Thabarani dalam al Mu’jam al Ausath dan al Mu’jam al Kabir
      juga diriwayatkan Ahmad dalam hadits yang panjang yang semua para perawinya
      terpercaya.
      Dan dari Tsabit berkata: “apabila aku mendatangi Anas (ibn Malik), ia (Anas) --selalu--
      diberi tahu tentang tempatku, maka aku masuk kepadanya dan meraih kedua tangannya
      untuk aku cium, aku berkata: “Demi Ayahku kedua tangan inilah yang telah meraih
      Rasulullah”, kemudian juga aku cium kedua matanya, aku berkata: “Demi ayahku kedua
      mata inilah yang telah melihat Rasulullah”. diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para
      perawinya shahih selain ‘Abdullah ibn Abu Bakr al Muqdami yang terpercaya (tsiqah).
      Dan dari Dawud ibn Abi Shalih berkata: “suatu hari Marwan datang dan mendapati
      seseorang yang meletakkan wajahnya di atas makam --Rasulullah--. Marwan berkata:
      “sadarkah apa yang engkau lakukan?”. Ketika mendekat ternyata ia adalah sahabat Abu
      Ayyub al Anshari. Abu Ayyub berkata: “ya, aku mendatangi Rasulullah, bukan mendatangi
      batu, aku mendengar Rasulullah bersabda: “janganlah kalian menangisi agama jika dipimpin
      oleh ahlinya, tapi tangisilah ia bila dipimpin oleh yang bukan ahlinya”. Diriwayatkan oleh
      Ahmad dan At Thabarani dalam al Kabir dan al Ausath.
      Maka setelah ini tidak terdapat lagi anggapan bagi mereka yang mengingkari tawassul
      dan tabarruk (mencari berkah) dengan peninggalan-peninggalan nabi yang mulia. Al Baihaqi
      dan lainnya meriwayatkan dengan sanad bahwa sahabat Khalid bin al Walid pada
      peperangan Yarmuk kehilangan pecinya, ia berkata --kepada prajuritnya--: “carilah!”, namun
      mereka tidak menemukannya. Setelah dicari kembali akhirnya mereka menemukannya dan
      ternyata sebuah peci yang sudah lusuh. Khalid berkata: “ketika Rasulullah umrah dan
      memotong rambutnya, banyak orang berebut mengambil bagian pinggir rambutnya. Namun
      aku mendahului mereka untuk meraih --rambut— dari ubun-ubunnya dan aku letakkan di
      peci ini hingga tidak ada satu peperanganpun yang aku ikuti kecuali aku meraih
      kemenangan bersamanya”.[]  www.darulfatwa.org.au

      Kunci Surga

      Syarat diterimanya Kalimah Thoyibah
      Kalimat Thoyibah atau La ilaha illallah merupakan pintu gerbang seorang masuk ke dalam Islam. Memahami akan mengantarkan manusia kepada surga. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Barang siapa yang mati sedang ia mengetahui bahwa tiada ilah selain Allah, maka ia masuk surga.” (HR. Muslim)
      Tetapi, kalimat ini tidak akan memberikan kebaikan kepada manusia jika hanya mengulang-ulang pengucapannya atau menghafal lafadz-lafadznya.

      Wahab bin Munabih pernah ditanya, “Bukankah la ilaha illallah merupakan pintu surga?” Kemudian Wahab menjawab, “Benar, tetapi tidak ada kunci kecuali ia mempunyai gigi-gigi. Apalagi engkau datang sambil membawa gigi-giginya, maka surga akan dibukakan untukmu. Kalau tidak, maka surga tidak akan dibukakan untukmu.” Yang dimaksud gigi-gigi di sini adalah syarat-syarat diterimanya la ilah illallah.

      Syarat-syarat diterimanya La Ilaha Illallaah
      Ada tujuh syarat yang harus dipenuhi, yaitu: ‘ilmu, al yaqin, al qobul, al inqiyad. Ash shidqu, al ikhlas, dan mahabbah.

      1. ‘Ilmu
      Ilmu di sini adalah mengetahui makna yang dimaksudkan, baik yang dinafikan (ilah) maupun yang ditetapkan (Allah). ‘ilmu (mengetahui) bisa mengakal kebodohan. Firman Allah, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada ilah kecuali Allah” (47:19).

      2. Al Yaqin
      Maksudnya, orang yang mengucapkan kalimat tauhid harus yakin terhadap pengertian didalamnya dengan keyakinan yang sepenuhnya. Sebab, keimanan tidak dapat dilandasi praduga dan prasangka (49:15). Adanya keyakinan dapat menangkal keraguan. Rasulullah SAW bersabda, “Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah. Dengan dua kesaksian ini dan taidak ragu-ragu tentang keduanya, seorang hamba tidak akan bertemu Allah kecuali ia masuk surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah R.A.)

      3. Al Qobul
      Maksudnya, menerima apa yang dituntut oleh kalimat ini dari hati dan lisannya secara bulat. Allah mengisahkan kabar masa lampau tentang keselamatan bagi orang yang menerima La ilah illallah dan siksaan bagi orang yang menolak (43:23-35, 10:103, 37:35-36)

      4. Al Inqiyad
      Maksudnya, tunduk patuh dan berserah diri kepada apa yang ditunjukkan serta apa yang dinafikan atau terus mengikuti dan terikat pada kalimat ini (39:54, 4:125, 31:22).
      “Tidak beriman di antara kamu sehingga menjadikan kecenderungannya mengikuti apa yang kubawa.” (Hadits Hasan Shahih Al Arbain An Nawawiyah, hadits no.41)

      5. Ash Shidqu
      Maksudnya, ia harus mengucapkan kalimat tauhid itu dari sanubarinya dengan jujur dan benar. Adanya kejujuran dapat menafikan kedustaan dan kemunafikan. Apa yang diucapkan lidah harus dibenarkan dengan hatinya (2:8-10, 29:1-3).
      “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya dengan sebenarnya dari hati, melainkan Allah mengharamkan neraka baginya.” (HR. Bukhari dari Muadz bin Jabal)

      6. Al Ikhlas
      Memurnikan amalan dengan niat yang baik dan benar. Keikhlasan dapat melepaskan atau menangkal berbagai bentuk syirik (39:3, 98:5).
      “Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah secara murni dari hatinya.” (HR. Bukhari)
      “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka bagi orang yang mengucapkan la ilaha illallah, yang dengan ucapannya itu ia hendak mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)

      7. Mahabbah
      Ucapan la ilaha illallah tidak akan berarti bila tidak disertai dengan segenap rasa cinta (mahabbah) dalam mengamalkannya. Al Mahabbah merupakan unsur yang sangat penting, karena untuk menegakkan kalimat tauhid ini diperlukan pengorbanan lahir dan batin. Cinta dan pengorbanan merupakan dua ikatan yang tidak dapat dipisahkan (2:165, 5:54).
      “Tiga perkara barang siapa yang berada didalamnya, maka akan mendapatkan kenikmatan dan manisnya iman, atau menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada semua cintanya selain kepada keduanya, seseorang mencintai yang lain, ia tidak mencintainya melainkan karena Allah; dan menolak kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya dari kekufuran itu sebagaimana ia menolak untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhori)

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news